
Yogyakarta memiliki arti Yogya yang kerta, yaitu Yogya yang makmur. Kota ini merupakan salah satu kota metropolis di Indonesia. Kota yang juga dikenal dengan sebutan Kota Pelajar ini memiliki nilai historis yang erat kaitannya dalam perjuangan Bangsa Indonesia pada zaman Penjajahan Belanda, zaman Penjajahan Jepang, serta zaman mempertahankan kemerdekaan. Hal itu dapat dibuktikan dengan terdapatnya bangunan-bangunan peninggalan sejarah, seperti: Museum Benteng Vredeburg, Pasar Beringharjo, Keraton Yogya, dan Jalan Malioboro yang masih dijaga dan dirawat kelestariannya dengan baik.
Malioboro merupakan salah satu nama jalan yang terletak di kawasan Urban Yogyakarta. Kawasan ini menjadi landmark yang tak terpisahkan dari Kota Yogyakarta. Siapapun yang mendengar Kota Yogyakarta serta merta akan terlintas nama Malioboro dalam benaknya.

Daftar Isi:
Sejarah Malioboro
Terdapat banyak pendapat mengenai asal muasal kata Malioboro. Salah satu pendapat yang cukup tersohor menyatakan bahwa Malioboro berasal dari Bahasa Sansekerta, yaitu: ‘Malyhabara’ yang memiliki arti ‘dihiasi dengan untaian bunga’ (Carey dalam Siti Mahmudah Nur Fauziah, 2018). Kata tersebut ditemukan dalam sebuah naskah yang berasal dari Yogyakarta pada pertengahan abad ke-18.
Malioboro terletak dalam satu garis lurus yang dikenal dengan nama Sumbu Filosofi Keraton Yogyakarta. Pola ini dibangun berdasarkan kondisi alam yang terdapat di Yogyakarta, yang meliputi: gunung, laut, dan sungai. Pola yang unik tersebut diciptakan oleh Sri Sultan Hamengkubuwana I yang merupakan seorang raja sekaligus arsitek yang andal. Filosofi tersebut memiliki makna yang mendalam, yaitu: tentang hubungan manusia dengan Tuhan dan gambaran perjalanan hidup manusia sejak lahir hingga menghadap Sang Khalik.
Kawasan Malioboro diyakini telah ada sejak lima puluh tahun sebelum bangsa asing membangun pemerintahannya di Jawa. Pada saat itu, Malioboro berfungsi sebagai Rajamarga atau Jalan Kerajaan yang digunakan pada acara seremonial untuk menyambut tamu kerajaan, gubernur jenderal, dan pejabat lain. Para tamu akan disambut oleh sultan dan prajurit keraton yang bersenjata.
Awal Mula Sebagai Pusat Perbelanjaan
Dengan diberlakukan UU Desenteralisasi maka Malioboro yang berada di Jantung Kota Yogyakarta mengalami perkembangan yang signifikan. Adapun puncak pembangunan Malioboro terjadi dalam kurun waktu sekitar tahun 1870-1920. Sejumlah fasilitas dibangun di sekitar kawasan ini, yang meliputi: Stasiun Tugu, Bank, Kantor Asisten Residen, Tempat Tinggal Asisten Residen, dan Perusahaan. Dalam periode pembangunan tersebut, warung-warung sekitar Malioboro juga turut bermunculan.
Dalam perkembangan selanjutnya, yaitu pada abad ke-20, Yogyakarta mendapat julukan sebagai kota transit. Hal itu disebabkan karena Yogyakarta merupakan pintu yang menghubungkan tiga kota besar di Jawa, seperti: Semarang, Surabaya, juga Jakarta. Selain itu, Yogyakarta menjadi satu-satunya penghubung antara Jawa Timur dan Jawa Barat. Dan secara perlahan Malioboro turut berkembang menjadi pusat perdagangan yang paling sibuk di Yogyakarta. Warung-warung yang sebelumnya sudah ada berubah menjadi toko dengan bentuk bangunan permanen. Tidak berhenti sampai di situ, toko-toko baru mulai bermunculan di tiap sisi Jalan Malioboro.
Kondisi Saat ini
Saat ini, Malioboro menjadi salah satu destinasi wisata yang menarik bagi wisatawan, baik wisatawan lokal maupun mancanegara. Bagaimana tidak? Malioboro merupakan bagian dari Sumbu Filosofi Keraton Yogyakarta sehingga menjadikan Malioboro sebagai bagian dari culture heritage. Tidak cukup sampai di situ, pola tersebut diklaim merupakan satu-satunya pola unik yang ada di dunia.

Malioboro mampu menciptakan nuansa retro pada masa kerajaan dan tentunya ini juga menjadi salah satu daya tarik Malioboro. Hal itu dapat ditemukan pada plang yang berfungsi sebagai penunjuk jalan. Plang tersebut ditulis dengan indah dalam Bahasa Indonesia pada bagian atas dan Aksara Jawa pada bagian bawah. Nuansa retro juga turut diperkuat dengan keberadaan sejumlah delman yang hilir mudik atau sedang ngetem menunggu datangnya penumpang. Di sisi lain, terdapat para kusir mengenakan Batik Lurik yang merupakan pakaian khas Jawa lengkap dengan Blangkon yang bertengger indah di atas kepala semakin menyemarakkan nuansa retro di Malioboro.
Terdapat jejeran toko di kedua sisi Jalan Malioboro yang menjual kebutuhan sehari-hari, kerajinan tangan, berbagai jenis barang pecah belah, perhiasan, dan banyak lagi. Dan yang tidak kalah menarik perhatian adalah aneka kuliner tradisional dan modern yang membuat air liur mengalir deras. Pedagang kaki lima juga turut meramaikan Malioboro.
Berbagai fasilitas sudah disediakan bagi para pengunjung yang berjalan kaki. Terdapat sejumlah bangku di berbagai titik pada sisi jalan dengan berbagai variasi bentuk dan ukuran. Sisi-sisi jalan tersebut juga ditumbuhi oleh sejumlah pepohonan besar dengan daun yang rindang. Tentunya hal tersebut akan memudahkan para wisatawan untuk menikmati suasana Malioboro.

Pada malam hari, Malioboro tampak begitu indah dengan jejeran lampu yang terdapat pada sepanjang ruas jalan serta pertokoan. Lampu-lampu tersebut tidak hanya berfungsi sebagai penerang yang menembus pekatnya malam tetapi juga memiliki nilai estetis. Kilau yang dipancarkan dari lampu-lampu tersebut akan membuat Malioboro menjadi kawasan yang sangat indah.
Referensi:
Fauziah, Siti Mahmudah Nur. (2018). Dari Jalan Kerajaan Menjadi Pertokoan Kolonial: Malioboro 1756-1941. Lembaran Sejarah. Volume 14. No 2.
Tim Asisten Keistimewaan DIY Setda DIY, dkk. (2016). Sumbu Filosofi Yogyakarta. Buletin Pelestarian Warisan Budaya dan Cagar Budaya, Mayangkara.
SEODigital.co.id Agency Digital Berpengalaman Sejak Tahun 2007