Indonesia merupakan kawasan kepulauan yang terdiri dari kepulauan besar dan kecil. Kepulauan- kepulauan besar tersebut antara lain: Sumatra, Jawa, Borneo, Sulawesi, Maluku, dan Papua. Secara fisik antar kepulauan satu dengan kepulauan yang lain dipisahkan oleh laut. Adapun luas laut Indonesia menurut Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi (2020) adalah sebesar 77% dari luas total wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Tapi pada hakikatnya bagi sebagian orang, laut bukanlah pemisah, laut adalah pemersatu yang berperan sebagai jembatan.

Pada awalnya laut merupakan ajang untuk mempertahankan hidup. Seiring dengan berjalannya waktu tujuan tersebut mengalami perubahan, yang semula hanya untuk bertahan hidup berubah menjadi untuk mengembangkan kesejahteraan hidup. Perubahan tersebut menyebabkan timbulnya aktifitas pelayaran antar pulau, salah satu di antaranya adalah perdagangan. Hal itulah yang menjadi cikal bakal terbentuknya karakter bangsa bahari.

Laut Indonesia/Sumber: Dokumen Pribadi

Sayapun jadi teringat dengan salah satu lagu yang diajarkan saat saya masih kecil. “Nenek moyangku seorang pelaut” merupakan sepenggal lirik lagu ciptaan Ibu Soed dengan judul “Nenek Moyangku”. Lagu tersebut tentunya sudah sangat familiar di telinga masyarakat Indonesia. Di sisi lain, lagu tersebut merupakan salah satu gambaran bahwa Indonesia memiliki karakter nasionalis sebagai bangsa bahari. Lantas, bagaimana histori nenek moyang bahari di Indonesia?

Baca juga Bincang Kece Tentang Sejarah.

Museum Bahari/Sumber: Dokumen Pribadi

Menelisik histori bahari di Indonesia bukanlah perkara mudah. Mengunjungi museum Bahari merupakan alternatif yang saya pilih. Museum Bahari berada di Jl. Pasar Ikan, Jakarta Utara yang buka setiap hari Selasa – Minggu dan dengan merogoh kocek Rp 10.000 (weekdays) saya sudah bisa masuk ke museum Bahari

Merunut info dari Museum Bahari, masa prasejarah merupakan cikal bakal pelayaran kuno Nusantara. Pada masa ini umumnya perahu memiliki bentuk yang sederhana, yaitu bentuk badan ramping memanjang serta agak lurus dan perahu berbentuk melengkung dengan badan yang hampir setengah lingkaran. Perahu jenis ini disebut kora-kora yang merupakan perahu perang atau lomba. Dalam perkembangannya, terciptalah sebuah perahu yang aman digunakan seperti perahu bercadik. Perahu Cadik merupakan perahu yang dilengkapi dengan cadik yang dibuat dari kayu atau bambu sebagai pengaman yang diletakan melintang pada perahu. Hal tersebut diketahui dari hasil penemuan bukti-bukti arkeologi dalam bentuk hiasan di periuk, pahatan atau goresan di batu, lukisan di goa, relief di nekara perunggu.

Miniatur Perahu Cadik Papua yang terdapat di Museum Bahari/Sumber: Dokumen Pribadi

Para pelaut Nusantara mampu menjelajahi segala samudra hingga ke Madagaskar di Ujung Barat Daya Samudra Hindia sampai ke pulau-pulau Polinesia di bagian Timur Samudra Pasifik. Dalam pelayarannya mereka menggunakan perahu-perahu Cadik yang merupakan perahu ciri khas Nusantara. Hal tersebut tergambar pada berbagai lukisan yang terdapat pada gua.

Dunia pelayaran Nusantara mengalami masa kejayaan pada awal-awal masehi yaitu abad ke-5 hingga abad ke-7. Pada masa ini para pedagang Nusantara sudah menjadi pelaut sekaligus pedagang utama di wilayah Timur Jauh. Mengetahui hal tersebut membuat saya merasa takjub, terlebih mengingat sumber navigasi pada masa lampau tidak secanggih saat ini. Dan sayapun kembali teringat akan sepenggal lirik lagu “Nenek Moyangku” ciptaan Ibu Soed, yang berbunyi “Menerjang ombak, tiada takut. Menempuh badai, sudah biasa”.

Navigasi

Bangsa Indonesia menggunakan sistem angin musim sebagai teknologi pelayaran pertama. Pengetahuan tantang angin darat dan angin laut merupakan pengetahuan yang penting. Mereka memanfaatkan angin tersebut jika akan keluar berlayar pada pagi hari dan pulang pada sore hari. Selain itu kemampuan membaca arus angin juga digunakan sebagai pedoman untuk berlayar antar pulau.

Selain pengetahuan tentang angin musim, para pelaut juga memiliki kemampuan lain sebagai penunjuk jalan. Pada saat siang hari posisi matahari dapat digunakan sebagai penunjuk arah. Adapun pada malam hari mereka menggunakan letak kelompok bintang tertentu di langit. Mereka memiliki istilah sendiri bagi kelompok bintang yang mereka anggap penting bagi pelayaran, seperti: bintang Mayang, bintang Biduk, dan lain-lain.

Pembuatan Perahu

Pembuatan perahu memerlukan keahlian khusus. Mulai dari memilih kayu, menebang pohon, sampai pada saat mengeruk bagian batang pohon. Tidak hanya itu, kesabaran juga diperlukan dalam proses pembuatannya.

Banyak teknik yang digunakan dalam pembuatan perahu. Salah satu teknik yang mengagumkan adalah cara menyambung papan. Teknik tersebut tidak menggunakan pasak kayu/bambu, cara menyambung satu papan dengan papan lainnya adalah dengan mengikatnya dengan tali ijuk (Arrenga Pinnata). Sebilah papan pada bagian tertentu dibuat menonjol yang disebut Tambuko. Pada Tambuko diberi lubang yang jumlahnya 4 buah menembus ke bagian sisi tebal. Melalui lubang-lubang yang ada tali ijuk kemudian dimasukan dan diikatkan dengan bilah papan yang lain. Di bagian sisi yang tebal diperkuat dengan pasak-pasak kayu/bambu. Teknik penyambungan seperti ini dikenal dengan istilah “teknik papan ikat dan kupingan pengikat” (Utomo, 2016).

Sungguh mengagumkan histori bahari di Indonesia yang dengan peralatan sederhana telah mampu menjelajah berbagai samudra. Dengan demikian adalah sesuatu yang tepat penggambaran nenek moyang dalam sebuah lagu yang diciptakan oleh Ibu Soed yang berjudul “Nenek Moyangku”.

Referensi:

Burhanuddin, Safri, dkk. (2003). Sejarah Maritim Indonesia: Menelusuri Jiwa Bahari Bangsa Indonesia Dalam Proses Integrasi Bangsa. Jakarta: Departemen Kelautan dan Perikanan.

Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi Republik Indonesia. (2020). Peraturan Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi Republik Indonesia Nomor 6 Tahun 2020. Jakarta: Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi Republik Indonesia.

Utomo, Bambang Budi. (2016). Warisan Bahari Indonesia. Jakarta: Yayasan Pustaka Obor Indonesia.

Written by

Setya Thamarina

Menulis adalah salah satu caraku belajar untuk menjadi pribadi yang lebih teroganisir.