
Judul Buku: Korupsi Dalam Silang Sejarah Indonesia Dari Daendels (1808-1811) Sampai Era Reformasi
Penulis: Peter Carey, Suhardiyono Haryadi, dan Sri Magana.
Genre: Sejarah dan Politik.
Tahun Terbit: 2017 (Cetakan kedua).
Jumlah Halaman: lxii + 278.
Ukuran Buku: 19×20 cm.
ISBN: 978-602-9402-88-9.
Buku ini menyajikan fakta bahwa korupsi sudah lama tumbuh subur di Indonesia, bahkan sejak zaman kolonial Belanda. Gambar dari sampul depan buku ini merupakan ilustrasi Perang Jawa yang dipimpin oleh Pangeran Diponegoro. Korupsi merupakan salah satu alasan pemicu meletusnya Perang Jawa.

Beranjak ke halaman berikutnya menampilkan ilustrasi Pangeran Diponegoro dalam kondisi marah menampar Patih Yogya dengan selop. Hal itu dipicu tentang penyewaan tanah kerajaan kepada orang Eropa yang menjadi jalan bagi pejabat pribumi untuk korup dan menyengsarakan rakyat.
“Luka-luka bernanah (akibat korupsi) merupakan dosa berat yang berteriak ke surga untuk mendapat balasan. Sebab, luka itu merongrong dasar kehidupan pribadi dan masyarakat. Korupsi membuat kita tidak mampu melihat masa depan. Kerakusannya mengancurkan kaum lemah dan menginjak-injak orang paling miskin di antara kaum miskin. Korupsi […] adalah skandal politik yang paling berat.”
Kalimat di atas merupakan merupakan kalimat pembuka yang menggambarkan betapa mengerikan dampak korupsi yang akan menimpa suatu masyarakat bahkan negara. Korupsi merupakan dosa yang amat berat.
Bab Satu

Bab satu dari buku ini mendeskripsikan Marsekal Herman Willem Daendels yang diberi kepercayaan sebagai Gubernur Jenderal di Jawa (1808-1811). Dalam jabatannya tersebut Daendels meletakkan landasan bagi pemerintahan kolonial baru. Ciri khas dari pemerintahan ini adalah sentralisasi di Batavia.
Daendels melakukan hal itu agar dirinya bisa langsung berhubungan dengan para residen (pejabat pribumi dari pihak keraton yang menjadi wakil Belanda) di keraton. Wilayah jajahan Belanda di Jawa dibagi menjadi 9 prefektur dan masing-masing dibagi kembali menjadi kabupaten di bawah arahan bupati.
Menurut Djoko Marihandono seorang sejarawan Universitas Indonesia, langkah tersebut diambil oleh Daendels sebagai awal penghapusan korupsi dan penyelewengan kekuasaan di Tanah Jawa.
Langkah lain yang dilakukan oleh Daendels adalah melarang para pejabat untuk mengeluarkan uang bekti (upeti) saat pelantikan menjadi pejabat. Hal tersebut merupakan hal yang lumrah dilakukan sebelum adanya sentralisasi di Batavia. Jika terdapat pejabant memberikan uang bekti maka pejabat tersebut bisa dipecat.
Daendels juga mengubah upacara seremonial yang dianggap merendahkan para residen. Mereka mendapat gelar duta (minister) dengan seragam baru. Banyak keistimewaan yang didapat oleh seorang Residen, seperti: tidak harus membuka topi ketika mendekati raja, tidak harus jalan dengan berjongkok dan kereta kuda mereka tidak perlu berhenti saat berpapasan dengan kereta kuda raja.
Dalam tiap kunjungannya Daendels selalu menggunakan seragam marsekalnya yang menjadi ciri khas dirinya. Seragam Daendels didominasi warna biru pirus yang menunjukkan keangkuhan, kemewahan, kekuasaan, dan ketenangan. Di lehernya tegantung pita sutra merah dan salib enamel putih legiun kehormatan. Di dadanya berkilau bintang berujung delapan dan selempang sutra biru Orde Kerajaan dari Louis Napoleon. Sebuah pakaian baru bagi kalangan keraton sehingga membuat mereka terpukau.
Daendels memperkenalkan seragam dan pangkat militer tinggi bagi para bangsawan. Hal itu ia lakukan untuk mengikat para pangeran independen dan sebagai sistem penghargaan murah untuk menghargai kesetiaan dan jasa mereka.
Daendels terus melakukan taktik politik tersebut dengan cara yang sangat halus, termasuk ketika memberikan seragam dan semua perlengkapan perwira kavaleri kepada putra sunan yang masih belasan tahun. Tindakan tersebut sangat menyentuh hati Sunan Pakubuwono IV beserta permaisurinya, Ratu Kencono.
Seiring berjalannya waktu, pengaruh seragam Daendels semakin meluas. Hal itu dapat dilihat pada penggunaan seragam di kalangan pejabat sipil pemerintah. Penggunaan seragam tersebut terus berlanjut hingga kini yang dapat dilihat pada seragam PNS.
Perlahan Politik Daendels mulai merambah dalam tata cara penggunaan bahasa. Daendels hanya bisa berbicara dalam Bahasa Melayu. Sebaliknya, Sultan Hamengkubuwono III yang tidak bisa Bahasa Melayu mengatakan para abdi dalem dan pejabat Yogya hanya boleh berbicara dalam Bahasa Melayu. Hal itu dilakukan dalam acara parade militer.
Dalam kepemimpinanya, Daendels membangun jalan Trans Jawa. Melalui jalan ini pengiriman surat yang semula memakan waktu hampir dua minggu menjadi hanya tiga-empat hari saja.
Penggunaan jalan Trans Jawa memakai biaya yang amat mahal (sekitar 88 juta). Oleh sebab itu, Daendels memberlakukan syarat yang ketat bagi pengguna jalan ini.
Bab Dua
Bab dua membandingkan korupsi yang terjadi di Indonesia beserta penanganan dengan korupsi yang terjadi di Inggris yang juga beserta penanganannya.
Korupsi di Indonesia Kontemporer
Dalam jejak pendapat kompas (2013), tentang penegakkan hukum memberikan hasil bahwa korupsi merupakan satu-satunya isu yang paling penting dihadapi negeri ini.
Pendirian Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) merupakan angin segar dalam menangani kasus korupsi. KPK mendapatkan dukungan yang besar dari masyarakat. Dalam melakukan aksinya, KPK menggunakan alat yang mutakhir, seperti: alat penyadapan.
Akan tetapi, KPK masih memiliki tantangan yang besar dalam mengatasi korupsi. Diantaranya adalah terbatasnya SDM dan rendahnya kemauan politik di tingkat daerah dan nasional. Selain itu, KPK juga menghadapi serangan balas dendam dari institusi pesaing beratnya, yaitu kepolisian.
Polisi secara terang-terangan menjerat Antasari Azhar dengan dakwaan yang sangat lemah. Kemudian, polisi melakukan hal yang sama terhadap Abraham Samad. Peristiwa itu terjadi setelah KPK menjadikan Budi Gunawan (Calon Komisaris Jenderal) sebagai tersangka.
Pengalaman Inggris 1660-1830
Inggris menjadi negara adidaya dengan kapasitas militer yang signifikan di Eropa dan dunia luar serta mengalami revolusi industri pertama di dunia. Pada akhir abad ke-18 dan awal abad ke-19 pengaruh Inggris mulai terasa di Nusantara.
Inggris merupakan negara ekonomi perdagangan paling sukses di dunia. Di sisi lain, selama dua dekade Inggris terus-menerus berperang melawan Eropa. Dalam peperangan tersebut Inggris tampil sebagai pemenang. Akan tetapi, Inggris membutuhkan waktu lebih dari 150 tahun untuk mengatasi korupsi.
Pada abad ke-18 pejabat yang duduk di kursi parlemen merupakan hasil suap dari para tuan tanah. Hal itu terjadi karena pada saat itu belum ada pemilihan rahasia di Inggris. Warga yang tidak memilih kandidat tuan tanah maka mereka akan diusir. Umumnya kandidat-kandidat tersebut merupakan anak atau keluarga dekat tuan tanah.
Jabatan-jabatan strategis yang mensyaratkan uang belanja mengalir melalui tangan pejabat tersebut akan memberikan keuntungan seumur hidup. Praktik politik patronase turut membuka para elite untuk memperkaya diri sendiri dan pemiskinan memdadak yang tidak terbayangkan.
Perdana Menteri pertama Inggris pernah menyelundupkan barang-barang mewah Prancis melalui Sungai Thames menuju rumahnya menggunakan kapal patroli kerajaan.
Panaklukan Inggris atas Imperium Asia semakin membuat subur korupsi terlembaga yang sudah ada. Banyak pejabat yang mendapatkan kekayaan baru dari wilayah kekuasaan (Jawa). Keadaan tersebut menyebabkan munculnya rasa khawatir akan munculnya Despostisme Asia yang akan merusak lembaga dan sendi-sendi politik Inggris.
Kekhawatiran itu menyebabkan munculnya sejumlah pengadilan terkenal. Salah satu dari pengadilan tersebut adalah pengadilan atas Gubernur Wilayah Benggala pertama, yaitu Warren Hastings (menjabat 1773-1784). Hastings dipecat atas tuduhan korupsi (1787).
Munculnya Inggris Sebagai Kekuatan Global
Keberhasilan Inggris dalam kekuatan global disebabkan pembentukan pajak bumi, pendirian Bank Of England, dan pendapatan dari bea dan cukai. Akan tetapi semua hal tersebut rentan terhadap korupsi. Hal itu dapat dilihat pada skandal South Sea Buble tahun 1720.
Pada saat itu nggris memiliki kemampuan membayar tentara di medan perang dan memperoleh kemenangan. Anggaran belanja untuk tentara membengkak 50-90% dari total anggaran negara. Pada akhir abad ke-18 utang nasional Inggris melonjak sebesar hampir 2.600 triliun (dalam rupiah pada Oktober 2015).
Penanganan Korupsi di Inggri
1. Bencana Militer
- Militer merespons korupsi yang sudah terlembaga di Inggris pada 1745. Sekitar 6000 tentara (tentara Yokobit dan Young Pretender) datang dari Skotlandia untuk menyerang elite kaya-raya di London. Kepanikanpun menyeruak yang menyebabkan elite kaya-raya mencoba menukar uang kertas mereka dengan emas. Di sisi lain direksi bank memberitahu teller untuk memanaskan emas sampai membara sehingga tidak ada yang bisa mengambilnya.
- Perang Revolusioner Amerika antara 1775 dan 1883 menimbulkan ketakutan Inggris sebagai kekuatan global. Hal itu juga membangkitkan keprihatinan Elite Inggris atas dampak korupsi dan kejahatan terhadap kepentingan nasional yang menjadi isu bagi mereka dalam waktu yang lama.
2. Revolusi Mental
Munculnya gerakan penginjil pada akhir abad ke-18 yang menjadi bagian dari revolusi mental. Kepercayaan tersebut memicu sebuah moralitas, seperti: kejujuran dan integritas sehingga menimbulkan sebuah kebanggan dalam melaksanakan tugas publik dengan jujur dan seksama. Selain itu filsafat utilitarianism yang menitikberatkan pada sifat hemat, efisiensi, sahaja, dan integritas juga mulai digaungkan.
Kondisi tersebut memicu gelombang reoformasi yang ditangani Partai Whig. Partai Whig menuntut reformasi terhadap “Old Corruption”, yang meliputi semua yang berbau semacam hak milik pribadi dan mengambil ongkos dibanding menerima gaji.
3. Pungutan Pajak
Kelompok elite kaya raya Inggris menanggung sebagian besar pajak bumi sebagai imbalan atas hak-hak istimewa politik, diantaranya pengawasan terhadap anggaran dan belanja negara. Dengan cara ini mereka bisa memantau penggunaan pajak mereka.
4. Penaggulangan Korupsi Dalam Tatanan Lembaga
- Lembaga cukai memberlakukan peraturan ketat, seperti: tidak diizinkan bekerja yang di dalamnya terdapat hubungan keluarga
- Bisa diberhentikan dengan alasan kecil, seperti: salah menyalin ketika membuat laporan
- Mengandalkan pegawai yang berpengalaman dan cakap serta patuh pada pada disiplin ketat yang ditetapkan kantor pusat
- Meningkatkan jumlah petugas pajak
5. Pemakzulan dan Eksekusi Kelompok Elite
- Objektifitas dalam pemberian hukuman
- Terdapat pelanggaran yang dilakukan oleh perwira tinggi kavaleri elite di Inggris yaitu Letnan Kolonel John Hale dengan sejumlah anggota resimen dargundernya di Skotlandia yang baru ditaklukan oleh Inggris. Mereka enggan membayar pajak dan menganiaya pegawai tol. Raja Inggris memerintahkan agar mereka tunduk terhadap hukum yang berlaku dan menolak grasi yang mereka ajukan. Mereka juga harus mengupayakan sendiri untuk memperoleh kembali kepercaaan publik.
- Thomas Parker (1666-1732) menjabat sebagai Lord Cancellor didakwa menerima suap (2,5 triliun rupiah dalam uang sekarang, Oktober 2015). Ia dimakzulkan oleh Majelis Tinggi Parlemen Inggris dan didenda 3X lipat atas tuduhan menerima suap (765 miliar rupiah dalam uang sekarang, Oktober 2015). Thomas Parker juga dijebloskan ke dalam penjara sampai denda dibayar. Ia mengaku bangkrut dan semua aset diambil negara. Padahal ia adalah teman baik Raja Inggris, yaitu: George I.
- Pada tahun 1940, Hitler merencanakan menyerang Inggris. Ia menyusun 2820 daftar Elite Inggris yang akan ditangkap dan dieksekusi. Mereka yang lolos eksekusi akan dijadikan tenaga kerja budak di wilayah pertambangan, Silesia.
Bab 3
Bab tiga mendeskripsikan korupsi yang ternyata sudah terjadi sejak sebelum adanya kolonialisme di Indonesia.
Akar Historis Korupsi Di Indonesia
Muhammad Hatta yang pernah menjabat sebagai wakil presiden (1945-1956) pernah mengatakan “Korupsi telah membudaya di Indonesia”. Hal ini mengindikasikan bahwa Bangsa Indonesia telah memiliki reputasi korupsi jauh sebelum masyarakat Transparasi Internasional menempatkan Indonesia sebagai bangsa terkorup tahun 1998.
Ada kepercayaan bahwa korupsi di Indonesia merupakan warisan dari sistem sebelumnya, yaitu Feodal Jawa ala Mataram yang dikombinasikan dengan VOC kemudian dipertahankan pada masa kolonial Hindia-Belanda.
Determinisme Kultural
1, Fiona Robertson
Fiona Robertson (seorang ahli hubungan internasional) berpendapat, bahwa: penjelasan kultural korupsi di Indonesia dihubungkan dengan bukti-bukti kebiasaan-kebiasaan kuno Orang Jawa. Tradisi itu adalah menawarkan upeti atau persembahan kepada penguasa. Tukar menukar hadiah dalam norma bisnis tidak seharusnya dipandang sebagai korupsi. Penjelasan yang sama juga berlaku untuk kolusi dan nepotisme.
Tradisional Jawa memberikan loyalitas yang jauh lebih besar kepada keluarga dibandingkan kepada negara. Setiap kesempatan ekonomi atau keluarga pada keluarga adalah sah.
2. Theodore M. Smith
Theodore melakukan penelitian (1971) untuk menguji variabel kultural sebagai faktor yang mendukung berkembangnya korupsii di Indonesia. Hasil dari penelitian tersebut adalah para ekonom, pejabat-pejabat level terendah dan tinggi adalah lahir dan dibesarkan di desa yang oleh antropolog Clifford Geertz masih dekat dengan nilai patrimonialisme.
Para pejabat tersebut telah dididik oleh nilai-nilai pedesaan dan ketika masuk birokrasi pemerintahan sebagian besar mengalami disorientasi nilai.
Selain dua pendapat di atas, budaya pakewuh (segan) karena bersikap keras akan melahirkan konflik dan disharmonisasi yang bisa mengancam hidup keluarga, bawahan, senior, dan organisasi secara keseluruhan.
Korupsi dan Birokrasi Patrimonial Ala VOC
VOC dianggap merupakan penerus patrimonialisme yang dipraktikan oleh kerajaan-kerajaan di Jawa pada abad ke-17. Figur pertama yang dianggap membawa norma-norma baru tersebut adalah Dirk van Hogendorp (1761-1822).
Hal itu diketahui dari surat yang dikirimkan oleh Dirk kepada adiknya. Salah satu surat itu mengatakan bahwa ia menyebutkan jenis-jenis hadiah yang didapat dari pejabat pribumi, misalnya: penunjukkan pejabat baru, hadiah tahun baru. Semua sudah tersistem (tidak ada yang bisa mengelak), oleh sebab itu tidak perlu diminta siapa yang harus menyediakan itu semua.
Interaksi yang lama dengan pejabat pribumi, gaji yang rendah dan jauh dari pengawasan seolah VOC mendapat privilege untuk mendapat pungutan dari barang-barang yang kelebihan muatan, keuntungan penjualan opium. Semua sistem VOC yang buruk tersebut seolah terlihat sebagai suatu sistem yang sah.
Patrimonialisme ala Kerajaan Jawa
Karakteristik dari patrimonialisme adalah berbasis feodalisme. Raja adalah pemilik semua tanah di Jawa, hal ini disebut sistem apanage. Tanah tersebut diolah oleh pejabat tingkat desa untuk memungut hasil panen dalam bentuk upeti untuk diserahkan kepada raja.
Hasil tanah itu dibagi menjadi: 2/3 untuk pemilik apanage, 2/3 untuk petani, dan 1/3 untuk bekel (pejabat tingkat desa). Dalam sistem tersebut, tidak terlihat batas tegas antara pemasukan pribadi dan pemasukan negara.
Dalam sistem apanage, bekel memainkan peran untuk menunjuk siapa saja petani yang berhak mengolah tanah tersebut dan mengambil pajaknya. Jabatan ini sering diperebutkan. Penduduk yang ingin menjadi bekti harus menyerahkan upeti kepada pemilik tanah.
Pada hakikatnya terdapat aturan jumlah minimal kebekelan. Akan tetapi, karena hal itu menjadi pemasukan yang besar maka lowongan tersebut diperluas.
Intervensi Kolonial
Pada 1870-an pemerintah kolonial Belanda mulai mengundang investor asing ke Indonesia. Dalam hal ini sistem apanage masih dipertahankan untuk menjamin pengerahan tenaga kerja.
Mengenai kondisi ini, Smith berpendapat bahwa jika pelayanan dan penyerahan wajib dan digantikan oleh gaji maka pribumi akan mencari jalan ilegal untuk kondisi sosial mereka. Para pejabat dari level tinggi hingga rendah akan melipatkgandakan pungutan. Hal inilah yang diduga menjadi penyebab gagalnya kolonial menghapus reformasi birokasi.
Bab 4
Dalam bukunya bab ini menggambarkan upaya pemerintah Indonesia dalam mengatasi permasalahan korupsi. Hal itu dimulai sejak Indonesia menyatakan kemerdekaannya.
Di tulisan ini penjabaran bab 4 dipadukan dengan pembahasan kehendak pemberantasan korupsi yang sejatinya dibahas di bagian khusus.
Pencarian Indonesia Atas Budaya Demokrasi
Presiden Soekarno dalam kepemimpinannya sudah mengeluarkan beberapa kebijakan untuk mengatasi persoalan korupsi. Akan tetapi dalam pemerintahan Soekarno ciri khas dari patrimonialisme masih terasa. Pada tahun 1956 terjadi nasionalisasi perusahaan-perusahaan Belanda. Hal itu memungkinkan pihak-pihak untuk mengambil keuntungan.
Dalam Peraturan Penguasa Militer (PPM), Nasution menulis: “Beberapa orang jang tak bermoral mengoper perusahaan asing. Didalam koopcontract dituliskan bahwa selama masa peralihan mereka mendapat separo dari keuntungan dan tiap tahun harga perusahaan asing jang dioper itu dibayar setjara iuran, asal dari keuntungan itu dengan jalan transfer uang ke negara si pemilik asing, karena pihak pembeli mendapat izin dari ketua dewan moneter yang mendjadi anggota separtai dari pihak pembeli.
Perbuatan memberikan izin transfer itu ada melawan hukum dalam arti: bertentangan dengan kewadjiban hukum si pembuat atau bertentangan dengan kesusilaan, sebab apabila perushaan itu dioper oleh negara maka akan memberikan manfaat yang besar bagi rakyat dari pada di ‘berikan’ pada beberapa kawan se-partai jang untuk pengoperan perusahaan itu sama sekali tidak bermoral.”
Dalam pemerintahan terpimpin muncul perpppu 24/1960 yang menyatakan bahwa korupsi dinyatakan sebagai tindakan pidana biasa oleh sebab itu penanganannya juga biasa pula. Sehingga korupsi masih tetap ada.
Orde baru yang merupakan era baru dari pemerintahan Indonesia sejak kemerdekaanya juga sudah berupaya melakukan perlawanan terhadap korupsi. Soeharto sudah mengeluarkan kebijakan untuk melawan korupsi tapi hal itu tidak diindahkan oleh para pegawai negeri.
Pada periode 1980-an upaya korupsi menjadi antiklimaks ketika orang tertinggi mulai menjadi bagian dari korupsi. Soeharto memiliki kepentingan bisnis yang luas dan diuntungkan dari apa yang muncul sebagai privilege akses terhadap kontrak-kontrak pemerintah.
Kepemimpinan Habibie memberikan atmosfer baru bagi pemerintah Indonesia. Di mana dalam era tersebut dibuka keran desentralisasi atas banyaknya tekanan publik. Kebijakan tersebut membuka peluang besar bagi tindak korupsi.
Usaha melawan korupsi terus diupayakan dengan dibentuknya KPK. KPK merupakan angin segar bagi pemberantasan korupsi di Indonesia. Akan tetapi, seiring berjalannya waktu banyak upaya untuk melemahkan KPK.
Bab 5
Bab 5 mendeskripsikan pengalaman warga asing bekerja sama dengan lembaga pemerintah Indonesia. Dalam kerja sama tersebut banyak hal yang peristiwa yang “mewarnai” pekerjaan tersebut. Birokrasi merupakan hal yang disorot dalam bab ini.

Profil Penulis Buku Korupsi Dalam Silang Sejarah
Peter Carey
Peter Carey lahir di Rangon (Yangon), Birma (Myanmar) pada tanggal 30 April 1948. Ia telah meneliti sejarah Pangeran Diponegoro serta latar belakang Perang Jawa selama lebih dari 40 tahun.
Ia memiliki riwayat mengajar di Universitas Oxford sebagai Laithwaite Fellow untuk sejarah Modern di Trinity, Oxford (1979-2008). Saat ini, ia menjadi YAD Adjunct Profesor di Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya (FIB) di Universitas Indonesia.
Suhardiyoto Haryadi
Suhardiyoto Haryadi lahir di Situbondo, 8 Desember 1960. Ia pernah mendapat beasiswa dari Reuters Foundation untuk menempuh pelatihan di Universitas Oxford pada tahun 1999. Pernah menjadi wartawan di beberapa penerbitan di Indonesia pada dasawarsa 1990-an kemudian bekerja di bidang pengembangan bisnis.
Sri Magana
Sri Magana lahir di Klaten pada tanggal 15 Oktober 1969. Ia merupakan seorang dosen Jurusan Sejarah Fakultas Sastra UGM. Tahun 2001-2002 ia melanjutkan studi Advanced Master di Jurusan Sejarah di Fakultas Sastra Universiteit Leiden dan mendapat gelar doktor dari universitas yang sama pada tahun 2007.
Ulasan Buku Korupsi Dalam Silang Sejarah
Buku ini memaparkan fakta sejarah tentang korupsi yang telah diteliti dalam waktu yang cukup lama oleh Peter Carey. Paparan tersebut menyajikan infromasi terkait praktik korupsi yang dimulai sejak kekuasaan kolonial berkuasa di Indonesia bahkan dari era sebelumnya. Lebih lanjut, buku ini juga menarasikan dengan baik terkait praktik korupsi pada masa sebelum kemerdekaan hingga setelah masa kemerdekaan.
Fakta sejarah yang dideskripsikan dalam buku ini dapat dijadikan sebagai gambaran betapa mengerikan dampak korupsi yang akan menimpa suatu bangsa jika tidak ditangani dengan segera. Banyak deskripsi menarik yang dapati dijadikan bahan pembelajaran dalam upaya pemberantasan korupsi.
Baca Juga: Review Buku Sitti Nurbaya