
Judul Buku: Sitti Nurbaya, Kasih Tak Sampai
Penulis: Marah Rusli
Genre: Fiksi Roman
Penerbit: Balai Pustaka
Tahun Terbit: 2009 (Cetakan keempat puluh lima)
Jumlah Halaman: 290
Ukuran Buku: 20,5 cm
ISBN: 979-407-167-6
Buku Sitti Nurbaya pertama kali terbit pada tahun 1922. Buku ini mengisahkan tentang sejoli kekasih, yaitu Sitti Nurbaya dan Samsulbahri dengan latar belakang tempat daerah Padang pada masa kolonial Belanda. Roman ini merupakan salah satu dari seri sastra klasik dan menjadi bagian dari Indonesian Cultural Heritage.

Sitti Nurbaya merupakan tokoh utama perempuan dalam buku ini. Ia tinggal berdua bersama ayahnya yang merupakan seorang saudagar yang kaya raya. Ibunya sudah meninggal saat dia masih kecil. Sitti Nurbaya memiliki paras yang cantik, otak yang pintar, dan memiliki akhlak yang baik.
Samsulbahri merupakan tokoh utama laki-laki dalam buku ini. Ayahnya merupakan seorang pejabat yang terkemuka di Padang. Samsulbahri memiliki otak yang pintar, berani, fisik yang kuat, serta akhlak yang baik.
Datuk Meringgih merupakan seorang tokoh antagonis. Ia memiliki harta yang melimpah ruah yang tidak tertandingi di Padang. Datuk Meringgih memiliki wajah yang buruk, jorok, pelit, tamak, dan sangat tertarik kepada perempuan.
Tentang Penulis
Marah Rusli memiliki nama lengkap Marah Halim bin Sutan Abubakar yang lahir pada tanggal 7 Agustus 1889 di Padang, Sumatra Barat. Ia memiliki hobi mengarang, olahraga, melukis dan sandiwara.
Marah Rusli menamatkan sekolah dokter hewan di Bogor pada tahun 1915. Ia pernah bekerja di beberapa tempat sebagai dokter hewan. Terakhir Marah Rusli mengabdikan diri di Pusat Pendidikan Peternakan di Bogor.
Sinopsis Sitti Nurbaya

Sitti Nurbaya dan Samsulbahri sejoli yang sudah bersahabat sedari kecil. Usia mereka hanya berbeda beberapa tahun dengan Samsulbahri yang lebih tua. Mereka tinggal dengan lokasi rumah yang bersebelahan. Tidak hanya itu, mereka juga sekolah di tempat yang sama. Oleh sebab itu, Sitti Nurbaya dan Samsulbahri kerap menghabiskan waktu bersama-sama. Hubungan pertemanan keduanya sudah seperti saudara kandung. Makan sepiring, tidur sebantal merupakan ungkapan yang tepat untuk menggambarkan betapa erat pertemanan di antara mereka.
Akan tetapi perpisahan di antara keduanya tidak dapat dihindari sebab Samsulbahri melanjutkan sekolahnya ke Jakarta. Perpisahan ini terasa amat berat bagi Sitti Nurbaya maupun Samsulbahri. Sebelum keduanya berpisah, mereka sudah mengikat janji untuk menjadi suami istri dikemudian hari dan akan saling memberi kabar tentang keadaan masing-masing.
Atas tipu muslihat Datuk Meringgih usaha dagang ayah Sitti Nurbaya mengalami masalah. Hal itu menyebabkan sang ayah meminjam uang kepada Datuk Meringgih. Utang itu harus dibayar dalam waktu yang sudah ditentukan. Jika tidak sanggup membayar utang itu, maka sang ayah akan dijebloskan ke dalam penjara atau Sitti Nurbaya bersedia menjadi istri Datuk Meringgih sehingga utang dianggap lunas.
Malang tak dapat ditolak, mujur tak dapat diraih. Sang ayah tidak dapat membayar utang kepada Datuk Meringgih. Disebakan rasa sayang Sitti Nurbaya kepada sang ayah maka ia rela mengorbankan dirinya untuk menikah dengan Datuk Meringgih. Pernikahan tersebut membuat Sitti Nurbaya diliputi rasa pilu yang tak terkira hingga sempat terlintas ingin mengakhiri hidupnya.
Mengetahui keadaan Sitti Nurbaya membuat Samsulbahri turut berdukacita. Meskipun demikan, tidak ada yang dapat dilakukan oleh Samsulbahri untuk mengatasi kondisi tersebut.
Samsulbahri pulang ke Padang ketika libur sekolah. Dalam kesempatan itu, Samsulbahri dan Sitti Nurbaya sempat bertemu. Pertemuan itu digunakan Sitti Nurbaya untuk menceritakan semua hal yang sudah menimpa dirinya. Tanpa diduga, pertemuan itu diketahui oleh Datuk Meringgih.
Peristiwa tersebut menimbulkan perkelahian antara Datuk Meringgih dan Samsulbahri. Tak ayal perkelahian antara keduanya membuat gaduh lingkungan sekitar. Wargapun berhamburan keluar rumah menuju sumber kegaduhan. Ayah Sitti Nurbaya yang sedang berjalan menuju sumber kegaduhan terjatuh dari tangga dan kemudian meninggal dunia.
Kematian sang ayah menimbulkan duka baru bagi Sitti Nurbaya. Di sisi lain, Sitti Nurbaya terbebas dari Datuk Meringgih dan mengajukan perceraian atas pernikahannya. Bagi Datuk Meringgih, perceraian itu merupakan salah satu penghinaan untuk dirinya. Datuk Meringgih berniat melakukan balas dendam atas semua penghinaan tersebut.
Sitti Nurbaya berupaya menyusul Samsulbahri yang sudah kembali ke Jakarta. Ia dan Samsulbahri kembali mempunyai harapan akan terwujudnya menjadi suami istri dimasa mendatang. Akan tetapi hal itu tidak pernah terwujud sebab Datuk Meringgih berhasil balas dendam atas sakit hatinya dengan membunuh Sitti Nurbaya.
Kematian Sitti Nurbaya membuat Samsulbahri putus asa. Berkali-kali Samsulbahri berupaya untuk mengakhiri hidupnya, namun berakhir dengan kegagalan. Bayang-bayang Sitti Nurbaya tidak pernah hilang dari dalam diri Samsulbahri.
Keinginan kuat akan kematian membuat Samsulbahri menjadi prajurit. Hingga suatu saat, ia diutus untuk memberantas pemberontakan di Padang. Peristiwa pemberontakan tersebut mempertemukan Samsulbahri dengan Datuk Meringgih yang merupakan salah satu dari para pemberontak. Kesempatan itu digunakan oleh Samsulbahri untuk membunuh Datuk Meringgih.
Datuk Meringgih terbunuh oleh Samsulbahri. Selang beberapa hari kemudian Samsulbahri juga meninggal dunia akibat tikaman senjata oleh Datuk Meringgih. Samsulbahri dikubur berdekatan dengan Sitti Nurbaya.
Ulasan Buku
Buku ini lebih dari sekedar roman Sitti Nurbaya dan Samsulbahri yang berakhir dengan tragis. Buku ini juga membahas tentang adat istiadat daerah Padang yang seolah menempatkan pernikahan sebagai mata pencaharian bagi kaum laki-laki. Dalam buku tersebut dikatakan bagi pasangan yang akan menikah, maka pihak perempuan harus menyiapkan uang jemputan yang besarnya ditentukan oleh pihak laki-laki.
Setelah menikah dan punya anak, maka seluruh urusan menjadi tanggung jawab pihak perempuan dan keluarganya. Dan yang lebih membuat kaget, adalah suatu aib jika laki-laki hanya memiliki seorang istri saja.
Akan tetapi, hal yang menyenangkan adalah dalam buku ini dikatakan bahwa perempuan berhak mendapatkan pendidikan yang setara dengan laki-laki. Hal tersebut diperlukan agar kaum perempuan bisa diajak berdiskusi dan tidak seperti boneka bernyawa saja.

Kelebihan Buku Sitti Nurbaya
- Bahasa yang digunakan lembut,
- Pembahasan adat istiadat daerah Padang membuat buku ini jadi berbeda dari roman yang lain,
- Pembahasan mengenai emansipasi perempuan dalam dunia pendidikan merupakan hal yang menarik,
- Terdapat banyak pantun dengan bahasa yang santun.
Kekurangan Buku Sitti Nurbaya
- Dalam edisi ini bobot buku relatif berat,
- Tidak ada gambar tentang wilayah atau karakter tokoh yang terdapat di dalam buku.